Pelesir kali ini bertempatan di Malioboro.
Siapa sich yang gak tau Malioboro tempat destinasi favorit kala berkunjung ke
Jogja gak wisatawan lokal maupun asing. Banyak keaneka ragaman masyarakat di
sini mulai dari musisi jalanan hingga tukang parkir maupun tukang becak.
Yang mendominasi disini sebenarnya ialah para
pedagang mulai dari pedagang pakaian sampai pedagang berlian pun ada hmmm bener
bener komplit dah. Saya sampai disana pukul 10 pagi bersama 2 temanku dan
tak lupa saya foto – foto dulu hehehehehe
Kali ini Martanti akan membeberkan sejarah
Malioboro
Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan
di tiap benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah
pudar oleh jaman. Eksotisme Malioboro terus berpendar hingga kini dan
menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali ke Yogyakarta.
Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia karya Umbu Landu Paranggi
"Cintalah yang membuat diriku betah sesekali bertahan", kenangan dan
kecintaan banyak orang terhadap Malioboro lah yang membuat ruas jalan ini terus
bertahan hingga kini.
Keterangan: Karnaval dan acara yang berlangsung di Kawasan
Malioboro biasanya bersifat insidental dengan waktu pelaksanaan yang tidak
menentu. Namun ada beberapa kegiatan yang rutin diselenggarakan setiap tahun
seperti Festival Kesenian Yogyakarta pada bulan Juni hingga Juli, serta Pekan
Kebudayaan Tionghoa yang dilaksanakan berdekatan dengan perayaan tahun baru
China (Imlek).
Selain menjadi pusat perdagangan, jalan yang merupakan bagian dari sumbu
imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton
Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi ini pernah menjadi sarang serta panggung
pertunjukan para seniman Malioboro pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari mereka
pulalah budaya duduk lesehan di trotoar dipopulerkan yang akhirnya mengakar dan
sangat identik dengan Malioboro. Menikmati makan malam yang romantis di warung
lesehan sembari mendengarkan pengamen jalanan mendendangkan lagu
"Yogyakarta" milik Kla Project akan menjadi pengalaman yang sangat
membekas di hati.
Malioboro terus bercerita dengan kisahnya, dari pagi sampai menjelang tengah
malam terus berdegup mengiringi aktifitas yang silih berganti. Tengah malam
sepanjang jalan Malioboro mengalun lebih pelan dan tenang. Warung lesehan
merubah suasana dengan deru musisi jalanan dengan lagu-lagu nostalgia. Berbagai
jenis menu makanan ditawarkan para pedagang kepada pengunjung yang menikmati
suasana malam kawasan Malioboro. Perjalanan terus berlanjut sampai
dikawasan nol kilometer kota Yogyakarta, yang telah mengukir sejarah di setiap
ingatan orang-orang yang pernah berkunjung ke kota Gudeg ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar